Oleh : Lilis Suryani ( Guru dan Pegiat Literasi)
BEBERAPA waktu yang lalu akun Twitter Gubernur Jawa Barat ramai dikomentari netizen. Pasalnya Ridwan Kamil mengunggah foto yang menunjukan toleransi di Jawa Barat. Alih-alih ingin menguatkan opini bahwa Jawa Barat wilayah yang toleran, hal tersebut malah jadi blunder untuk Kang Emil.
Karena rupanya, foto-foto yang diunggah kang Emil di akun Twitter miliknya tersebut, sebagian bukan terjadi di Jabar. Hal ini tentu memantik kritikan netizen. Sebagai orang nomer satu di Jabar, Kang Emil nampak ingin membuktikan bahwa Jawa Barat adalah provinsi yang toleran.
Dan sebagai warga Jabar, penulis sendiri sependapat dengan Kang Emil bahwa Jawa Barat memang warga Jawa Barat memiliki tingkat toleransinya tinggi. Selama ini, penulis pun tidak mendapati fakta perselisihan atau pertikaian antar agama yang menunjukan intoleransi di Jawa Barat.
Bahkan sebagai bagian dari masyarakat Jawa Barat penulis yakin bahwa warga Jabar sudah memahami makna dari toleransi. Terbukti hingga saat ini, warga Jabar bisa hidup berdampingan dengan damai, meskipun berbeda agama. Contoh di lingkungan penulis sendiri, tidak seluruhnya beragama Islam. Melainkan juga ada warga yang Nasrani, dan kita sampai saat ini bisa hidup dengan rukun.
Oleh karena itu, isu bahwa Jawa Barat adalah provinsi yang intoleran disinyalir merupakan isu yang dipaksakan. Maka semestinya yang menjadi fokus perhatian kita adalah kenapa isu ini dihembuskan di Jawa Barat? Untuk lepentingan apa dan siapa?
Tentu untuk menjawab hal tersebut butuh pengkajian dan penelitian lebih mendalam. Namun terlepas dari itu semua, warga Jabar yang mayoritas penduduknya muslim mesti memahami batasan toleransi dalam Islam. Penulis khawatir, dengan diaruskannya isu intoleransi tersebut kita sebagai muslim menjadi gamang dalam memegang prinsip ajaran agama sendiri.
Apalagi dikalangan generasi muda yang saat ini mendapat gempuran arus informasi. Mesti mengetahui dengan betul batasan-batasan toleransi dalam Iskam agar tidak terjebak pada isu intoleransi sehingga merasa takut sendiri saat ingin memegang teguh prinsip ajaran agama.
Toleransi dalam pandangan Islam sesungguhnya adalah hal biasa. Bahkan Islam sesungguhnya adalah agama yang sangat toleran. Islam dengan sangat jelas telah meletakkan dasar-dasar toleransi di atas beberapa prinsip.
Pertama, Islam dengan sangat tegas memberikan kebebasan kepada siapa saja dalam memilih agama. Bolehlah ini disebut sebagai kebebasan beragama, dalam arti orang bebas memilih agama yang dia yakini. Islam sendiri melarang memaksa siapapun untuk masuk Islam. Ketika orang memilih agama selain Islam, maka pilihan itu harus dihormati. Tidak boleh dicela. Juga tidak boleh dicela Tuhan mereka karena mereka akan balas mencela Tuhan kita.
Kedua, Islam mewajibkan umatnya untuk meyakini hanya Islam saja yang benar, lainnya salah. Islam saja satu-satunya yang akan menghantarkan keselamatan dunia akhirat. Lain tidak. Oleh karena itu, atas nama apapun, termasuk atas nama toleransi, Islam menolak paham pluralisme agama yang mengatakan bahwa semua agama sama benarnya, dan sama-sama bakal menghantarkan umatnya menuju ke jalan keselamatan.
Ketiga, toleransi tidak boleh dijadikan alasan untuk membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar. Juga tidak boleh, atas nama dan demi toleransi, menegasikan apalagi mengkriminalisasi ajaran Islam dan siapa saja yang mendakwahkannya seperti yang saat ini terjadi ketika kita dengan lantang menyuarakan haramnya pemimpin kafir.
Nah, di atas tiga prinsip itulah toleransi diwujudkan. Maka dari itu, dalam soal ibadah, misalnya, dipersilakan beribadah sesuai dengan ketentuan agama-agama masing-masing. Ibadah dan tempat ibadah milik umat non-Muslim tidak boleh diganggu. Hal-hal yang terkait dengan keyakinan, seperti soal makanan dan minuman, Islam juga membolehkan mereka mengkonsumsi atau tidak sesuai dengan keyakinannya itu.
Adapun dalam aspek sosial, dalam kehidupan bertetangga, misalnya, Islam mengajarkan untuk memperhatikan hak tetangga meskipun dia non-Muslim. Misalnya, meminta ijin ketika hendak meninggikan bangunan. Juga meskipun mereka non-Muslim, terlarang mencederai kehormatan, harta dan jiwa mereka tanpa alasan syar’i.
Selai itu, kita bisa mendapati teladan dalam bertoleransi langsung dari Nabi Muhammad SAW. Misalnya dalam kitab As-Sirah an-Nabawiyah, Muhammad Shallabi menceritakan pada tahun 9 hijriah, ketika utusan Kristen Najran pergi ke Madinah, mereka disambut dengan baik oleh Rasulullah.
Rasul berkirim surat kepada uskup mereka, Abu al-Harist. Intinya tentang jaminan keamanan dalam melaksanakan ibadah. Jaminan ini tidak hanya berlaku bagi agama Nashrani saja, tapi juga untuk agama-agama lain, selama mereka mau menaati perjanjian dalam Piagam Madinah.
Dalam hal interaksi sosial, Rasul juga sangat toleran. Menurut riwayat Anas bin Malik sebagaimana disebut dalam kitab Ar-Rahmah fi Hayati ar-Rasûl, suatu ketika pelayan Rasulullah (anak Yahudi) sakit sehingga tidak bisa datang melayani. Nabi saw. pun menjenguk dia, lalu duduk di samping kepalanya.
Rasul berkata, “Masuk Islamlah!” Mendegar itu, anak itu melihat kepada bapaknya yang berada di sampingnya. Bapaknya lalu berkata, “Taatilah Abu Qasim (Muhammad saw.)! Lalu anak itu masuk Islam. Setelah selesai, beliau berkata, “Segala puji bagi Allah, yang telah menyelamatkan dia dari api neraka.”
Kisah ini memberikan gambaran tentang besarnya toleransi Rasulullah saw. dalam berinteraksi dengan orang non-Muslim, tapi tetap memegang prinsip bahwa agama Islamlah yang benar. Dalam kasus anak Yahudi ini, toleransi tidak menghalangi Rasulullah saw. mendakwahkan kebenaran Islam. Hal ini sangat jauh berbeda dengan kebanyakan pembela pluralisme agama saat ini yang merelatifkan kebenaran.
Karena itulah sebagai muslim dan warga Jabar justru kita mesti memegang teguh ajaran agama kita, apalagi khusunya untuk generasi muda dan pelajar. Karena dengan itu kita bisa bersikap toleran dengan benar sesuai dengan yang telah disyariatkan.