Bahaya Bisnis Tipping Fee Berbalut PSEL Sumur Batu Bebani Keuangan Daerah

Redaktur author photo




inijabar.com, Kota Bekasi- Program pengelolaan sampah menjadi energi listrik yang akan diterapkan di TPA Sumur Batu Bantargebang Kota Bekasi menjadi polemik. Bukan hanya sekedar bau kolusi yang timbul dalam proses penetapan pemenang lelang yang ditetapkan sehari sebelum  Walikota Bekasi Tri Adhianto lengser.

Namun juga program pengelolaan sampah menjadi energi listrik tersebut menjadi beban keuangan daerah. Termasuk jika dikaji dari dampak kesehatan manusia, dan lingkungan.

Banyak pemuda dan masyarakat khususnya di Bantar Gebang seolah diframing melalui media untuk mengamini program tersebut.

Selama 30 tahun kerjasama pengelolaan PSEL (Pengelolaan Sampah menjadi Energi Listrik) tersebut Pemkot Bekasi harus membayar tipping fee sebesar Rp166 miliar ke pihak pengelola.

Sedangkan hasil dari penjualan listrik dari sampah sekitar 8 ribu ton per hari, tidak ada bagi hasil yang diterima Pemkot Bekasi. Jadi hal tersebut murni bukan bisnis pengelolaan sampah menjadi energi listrik.

Program yang dipatok senilai Rp1,6 trilyun tersebut terdengar menjanjikan solusi instan mengurangi sampah, walupun dampaknya berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan manusia.

Bisa dibayangkan keuangan daerah Kota Bekasi akan terbebani selama 30 tahun. Padahal di Kota Bekasi banyak hal lain yang perlu memanfaatkan keuangan daerah. Lalu akan menjadi beban hutang bagi pemimpin generasi berikutnya.

Sebelumnya, riset-riset terdahulu tentang bahaya PLTSa sudah dilakukan para pegiat lingkungan, antara lain oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). Muhammad Aminullah menulis, pada tahun 2019 sekelompok peneliti menemukan adanya dioksin dalam kandungan telur ayam ternak milik warga di desa Bangun, Surabaya, Jawa Timur.

“Kejadian di atas merupakan gambaran nyata dari dampak buruk pemanfaatan sampah sebagai sumber energi listrik yang kini diadopsi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang tengah dicanangkan di beberapa kota,” demikian tulisan Muhammad Aminullah, diakses Kamis (19/10/2023).

Istilah Pembangkit Listrik Tenaga Sampah sekilas terdengar baik dan ramah lingkungan. Sampah yang sampai saat ini masih menjadi salah satu masalah lingkungan bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi. Tapi faktanya, kata Muhammad Aminullah, pembakaran sampah seperti PLTSa tidaklah seramah kedengarannya.

Ada tiga dampak negatif dari PLTSa, yakni merusak lingkungan, kesehatan, dan mubadzir. Dalam konteks pencemaran lingkungan, proses pembakaran sampah akan meningkatkan produksi gas rumah kaca yang artinya turut mempercepat perubahan iklim. Menurut penghitungan Zero Waste Europe, setiap satu ton sampah yang dibakar akan menghasilkan 1,7 ton CO2.

Selain itu, sistem pembakaran sampah seperti PLTSa akan menghasilkan dioksin, sebuah senyawa kimia beracun yang banyak dihasilkan dari pembakaran sampah plastik. Selain mencemari lingkungan secara langsung, dioksin juga mampu berpenetrasi dalam rantai makanan.

“Contohnya seperti yang terjadi pada telur-telur di Desa Bangun, Surabaya,” tulis Muhammad Aminullah.

Dari segi kesehatan, dioksin turut mengancam kelangsungan hidup manusia. Paparan racun ini dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan berbagai permasalahan kesehatan. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), senyawa beracun ini dapat menyebabkan kanker, menyerang sistem imun, dan mempengaruhi sistem reproduksi. Selain bertebaran di udara, dioksin juga memiliki kemampuan masuk ke dalam rantai makanan. Dengan kata lain, risiko paparan racun ini untuk manusia dan hewan semakin tinggi.

Di luar dampak lingkungan dan kesehatan yang ditimbulkan PLTSa, Muhammad Aminullah menyatakan PLTSa hanya akan memicu ledakan gas rumah kaca dari aktivitas pembakaran sampah.

Tidak berhenti sampai disitu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2020 juga sempat merilis kajian terkait rencana pembangunan PLTSa. KPK menemukan bahwa proyek PLTSa tidaklah efektif dan membebani anggaran pemerintah daerah (Pemda) serta Perusahaan Listrik Negara (PLN)

Ada dua aspek yang dinilai bermasalah oleh KPK, yakni model bisnis yang memberatkan dan basis teknologi yang belum memadai. Dalam hal model bisnis, PLTSa akan membebankan Pemda dalam sejumlah tahapan seperti studi kelayakan, pengumpulan sampah, dan tipping fee atau biaya layanan pengolahan sampah (BLPS). Sebagai contoh, Pemda DKI Jakarta harus menangung tipping fee sebesar Rp 470,52 miliar pertahun dengan total pengolahan sampah sebanyak 2.200 ton per hari.

Jadi, klaim ramah lingkungan yang digaungkan PLTSa tidaklah tepat. Energi ramah lingkungan tidaklah sesederhana mengubah sampah menjadi listrik. Alih-alih ramah lingkungan, PLTSa hanya mengkonversi masalah, dalam hal ini mengatasi permasalahan sampah dengan menghadirkan pencemaran udara.(*)

Share:
Komentar

Berita Terkini