Ilustrasi |
inijabar.com, Kota Bekasi- Penetepan pemenang lelang proyek yang dinamakan Pengelolaan Sampah Energi Listrik (PSEL) TPA Sumur Batu semakin keras, ternasuk isu beredar adanya dugaan bagi-bagi komisi untuk memuluskan proyek tersebut
Pasalnya, proses lelang yang sangat cepat dan publik mengkait-kaitkan dengan waktu lengsernya Tri Adhianto dari jabatanya sebagai Walikota Bekasi. Dimana penetapan pemenang lelang tanggal 19 September 2023 dan ke esokan hari nya pada tanggal 20 September 2023, Tri diganti oleh Pj Walikota Raden Gani Muhamad
Apalagi kalau dilihat sisi anggaran daerah, proyek senilai Rp1,6 trilyun dengan masa waktu kerjasama selama 30 tahun tersebut dinilai sangat membebani keuangan daerah.
Ditambah, dari infromasi di DPRD Kota Bekasi dalam hal ini Komisi 2 tidak pernah diajak membahas rencana teknis proyek PSEL tersebut.
"Kami tahu justru dari media. Saat diundang Kadis LH belum mampu menjelaskan persoalan beban anggaran yang akan ditanggung Kota Bekasi selama 30 tahun,"ucap salah satu anggota DPRD Kota Bekasi. Jumat (20/10/2023)
Anggota dewan seolah hanya disuruh setuju saja tanpa diminta masukan soal kajian dampak keseluruhan dari proyek yang dimenangkan oleh sebuah perusahaan China tersebut.
Jika merujuk PP 28 tahun 2018 tentang kerjasama daerah juga, bahwasannya untuk mekanisme perjanjian pemerintah daerah dengan lembaga luar negeri (KSDLL), persetujuan perjanjian kerjasama luar negeri harus mendapat persetujuan dari Kemendagri setelah mendapatkan rekomendasi dari hasil penjajakan yang dilakukan oleh kementerian luar negeri dan kementerian teknis
Seperti tertuang dalam UU 23 tentang Otonomi Daerah. Bahwa Perjanjian Kerjasama Luar Negeri harus mendapatkan persetujuan Kemendagri.
Dampak Lingkungan
Sementara itu, menurut Margaretha Quina dari Pusat Hukum Lingkungan, CEL, bahwa pembangkit listrik tenaga sampah diduga justru akan mengeluarkan lebih banyak energi untuk mendapat listrik yang tak seberapa, mengingat karakteristik sampah Indonesia yang tak dipilah sehingga cenderung basah.
Sampah yang basah, menurut Margaretha, membutuhkan energi tambahan untuk dikeringkan dan juga agar suhu tungku pembakaran tetap tinggi. Belum lagi, setelah pembakaran akan tersisa abu yang dicemaskan mengandung zat pencemar yang persisten dan berbahaya bagi lingkungan.
"Ini limbah B3 yang proses penanganannya harus khusus, sehingga biaya tambahannya akan sangat besar,"tandasnya.(*(