Ilistrasi |
inijabar.com, Kota Bekasi- Perlu nya Pj Walikota Bekasi Raden Gani mengevaluasi beberapa mata anggaran hibah tahun anggaran 2024. Mengingat ditemukannya beberapa lembaga baru terbentuk di 2023 menjadi calon penerima hibah terindikasi berafiliasi kepada salah satu bakal calon walikota Bekasi 2024.
Dari anggaran hibah yang begitu besar dan disusun di tahun 2023 ditotal pada seluruh OPD yang ada di Pemkot Bekasi tersebut ada yang memang perlu di cairkan. Namun ada juga sebagian yang harus dievaluasi. Apalagi sangat rawan dipolitisir memasuki momen politik Pilkada 2024.
Beberapa organisasi baru dibentuk belum satu tahun berjalan sudah mendapat bantuan hibah sampai ratusan juta rupiah.
Kordinator ICW (Indonesia Corupption Watch) Agus Sunaryanto menyatakan, modus mengambil untung dari dana hibah. Fakta menunjukan jika dana hibah seringkali menjadi sasaran para pemburu rente.
Hal ini, kata dia, setidaknya tergambar dari hasil pemantauan ICW selama 5 tahun terakhir dimana ada 8 kasus terkait korupsi dana hibah yang melibatkan kepala daerah dan anggota DPRD di berbagai wilayah di Indonesia, diantaranya Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Barat dan Kalimantan Barat.
Sedangkan modus yang sering digunakan yaitu, pemotongan anggaran, laporan fiktif, penggelembungan harga atau mark up, penggelapan dan penyalahgunaan anggaran untuk kepentingan tertentu.
"Dana hibah juga bisa dimanfaatkan secara politik baik oleh anggota legislatif daerah maupun pihak eksekutif. Pada situasi menjelang pesta demokrasi, dana hibah dapat digunakan sebagai dana politik untuk meraup suara, misalnya membiayai tim sukses atau relawan atau dana hibah disalurkan ke lembaga-lembaga atau paguyunan seperti kader Posyandu, RW atau RT dan mengklaim sebagai prestasi atau uang pribadi kandidat,"ungkapnya.
Dirinya mencontohkan, kasus dana hibah yang diduga dijadikan alat politik pernah terjadi di Provinsi Banten pada saat Pilgub tahun 2011. Menurut hasil pemantauan ICW, setidaknya ada beberapa modus terkait penyelewengan dana hibah di provinsi ini, diantaranya lembaga penerima hibah fiktif, pengulangan alamat lembaga penerima hibah, pemotongan dana hibah, serta aliran dana hibah kepada lembaga yang dipimpin kerabat Gubernur Banten. Dalam kasus ini potensi kerugian negara mencapai Rp. 34,9 miliar atau 30% dari total dana hibah yang disalurkan.
Agus menegaskan, berbagai kasus yang terjadi menunjukan jika dana hibah sangat rawan penyimpangan, tidak hanya oleh eksekutif tapi bisa oleh legislatif karena keduanya memiliki kewenangan masing-masing.
Sekedar diketahui Peraturan Pemerintah (PP) 12 tahun 2019 tentang pengelolaan keuangan daerah mengatur soal pemberian hibah harus atas usulan tertulis kepada kepala daerah. Kemudian tata cara penganggaran, pelaksanaan dan penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban serta monitoring dan evaluasi hibah diatur lebih lanjut dengan peraturan kepala daerah.(*)