Ekonomi Syariah Untuk Kesejahteraan Masyarakat

Redaktur author photo


Ilustrasi

EKONOMI Syariah menjadi pilihan terbaik dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Apalagi pada masyarakat yang mayoritas penduduknya muslim seperti di Jawa Barat dan Indonesia secara umum.

Dalam sebuah acara di Bandung, Kamis (26/5/2024), Kepala Komite Manajemen Daerah Ekonomi dan Keuangan Syariah (KDEKS) Jawa Barat Diana Sari, mengemukakan bahwa Jawa Barat berpotensi besar untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dan keuangan syariah sebagai penopang pembangunan nasional.  

Bahkan pendapatan asli daerah (PAD) tahun 2024 ditargetkan mencapai Rp35 triliun oleh Pemerintah. (https://jabarprov.go.id, 17/05/2024).

Indonesia, pada 2022 telah menjadi pemain utama dalam ekonomi keuangan syariah global. Indonesia berada di peringkat ke-4 dari keseluruhan ekonomi keuangan syariah global, peringkat ke-2 dengan makanan halalnya, dan peringkat ke-3 dengan fesyen muslimnya. (Oke Zone, 06/10/2022).

Hipokrisi terhadap 'Syariah'

Syariat Islam merupakan hukum yang dihadirkan Allah Swt. untuk mengatur kehidupan umat manusia. Ekonomi syariah adalah salah satu bagian yang inheren dari ajaran Islam yang didakwahkan oleh Rasulullah Saw. yang wajib diterapkan, untuk skala individu, masyarakat, juga negara. 

[cut]


Oleh sebab itu, menjadi hipokrisi saat negara-negara adidaya yang mayoritas negeri dengan jumlah minoritas muslim bahkan berkembang islamofobia malah berlomba-lomba menjadi pelaku ekonomi syariah. 

Akan tetapi, pada saat yang sama, justru mereka melecehkan ajaran Islam dan umatnya, bahkan melukai hingga melakukan genosida terhadap umat muslim di Gaza,  Uighur, muslim Pattani, dan lain-lain.

Keuangan syariah yang kini tengah digandrungi oleh negara-negara Barat menjadi ironi besar tatkala pelecehan pada simbol-simbol Islam merebak di sana. 

Di tanah air sendiri, menjadi paradoks kala ekonomi syariah diaruskan tapi kriminalisasi terhadap sebagian ajaran Islam dan para ulama yang mendakwahkan syariat-Nya juga terjadi.

Oleh karenanya, jawaban atas sikap hipokrisi ini hanya dua, yakni pertama, menyubordinatkan syariat Islam di bawah aturan kufur. Kedua, bentuk kapitalisasi 'syariat' untuk kepentingan hegemoni para kapitalis.

Subordinat Ekonomi Syariah

Subordinasi ekonomi syariah terlihat tatkala ekonomi syariah berani diotak-atik agar sesuai dengan pemahaman Barat. Keuangan ekonomi syariah, misalnya, digadang-gadang mampu menjadi arus pemulihan perekonomian, faktanya masih berbasis riba yang telah jelas keharamannya.

[cut]


Fesyen muslimah hanya dimaknai sebagai aksesoris pelengkap busana, bukan sebuah kewajiban, jauh dari kata syar’i. Berbagai model hijab akhirnya menabrak syariat, walaupun berhijab, tetapi masih memamerkan aurat dan kemolekan tubuh perempuan.

Padahal, bagi para muslimah, seharusnya berhijab adalah salah satu bentuk ketaatan mereka kepada Allah Swt untuk senantiasa menutup aurat dan memakai pakaian syar’i sesuai sunnah nabi.

Begitu pun dengan istilah wisata halal, hanya berbicara ketersediaan masjid dan makanan halal semata. Dengan alasan bahwa wisata halal bukan berarti menghilangkan yang haram, tetapi hanya menghadirkan layanan tambahan yang dianggap ramah terhadap muslim. Begitu pula ritual kemusyrikan yang menjadi daya tarik satu daerah, justru dilestarikan. 

Inilah realitas ekonomi syariah hari ini, semata-mata menjadi bagian dari subordinat sistem ekonomi kapitalisme.

Kapitalisasi 'Syariat'

Kapitalisasi 'syariat' bermakna memanfaatkan syariat untuk semakin menancapkan hegemoni negara-negara penjajah. Kaum muslim hanya dipandang sebagai konsumen. 

[cut]


Ketika seorang muslim tidak menginginkan 'bunga' yang merupakan bagian dari riba, maka dibuatlah tabungan dengan akad wadiah yang tidak berbunga pada nasabah. Tentu Ini sangat menguntungkan sebab bank bisa mengelolanya tanpa harus memberi 'bunga'.

Populasi muslim yang kian besar menjadikan pebisnis berbondong-bondong mengambil bagian karena akan mengalirkan keuntungan melimpah. Cina misalnya, mampu menjadi produsen fesyen muslim terbesar di dunia, dari mulai sajadah hingga pakaian muslimah telah memenuhi pangsa pasar dunia. Begitupun wisata halal dengan makanan halalnya menjadi daya tarik industri pariwisata yang menjanjikan.

Sungguh miris, kondisi umat muslim yang besar ini hanya diposisikan sebagai konsumen pasar bagi kepentingan ekonomi mereka semata. Konsekuensinya, merebak budaya konsumerisme pada umat, terutama kalangan muda dan mudinya.

Hal demikian dilakukan semata-mata untuk menjaga keloyalan para konsumen membeli barang/jasa dan untuk memastikan keberlangsungan hegemoni korporasi Barat.

Barat membangun pusat-pusat perbelanjaan dan fasilitas gaya hidup yang mewah di tengah kehidupan muslim, cara pandang kehidupan yang serba materialistis diinjeksikan pada media-media yang mudah diakses oleh umat muslim. Jadilah umat, terjangkiti budaya konsumtif secara akut. Akibatnya umat terdorong untuk selalu memenuhi kebutuhan jasmani yang telah terbentuk oleh persepsi dan budaya Barat.

[cut]


Preferensi umat muslim tetap dalam koridor barat, ini sangat berbahaya, karena ajaran Islam kafah yang bertentangan mereka anggap harus dijauhkan dari umat secara masif. Dideraskanlah opini islamofobia yang menyebabkan muslim takut dengan ajaran agamanya sendiri dan lebih rida menerima agama Islam versi Barat. Akhirnya, program moderasi beragama terus disuntikan, dengan menyebarkan Islam yang tidak bertentangan dengan Barat. 

Sekali lagi, semua ini semata-mata untuk melanggengkan hegemoni Barat dan pada akhirnya sekaligus mengadang kebangkitan umat Islam.

Khatimah

Oleh sebab itu, ekonomi syariah dalam penerapan sistem kapitalisme, hanya menjadi subordinat ekonomi para kapitalis yang kini tengah memimpin dunia. Ketika pelakunya adalah negeri muslim, mereka seolah-olah sedang membantu Barat untuk tetap menancapkan hegemoninya di dunia.

Liberalisasi, materialisme, konsumerisme, hingga islamofobia, akan terus diaruskan kepada negeri-negeri muslim semata-mata untuk kepentingan besar mereka, yakni menguasai dunia dan mengadang kebangkitan umat Islam.

Walhasil, yang dilakukan Indonesia, khususnya Jawa Barat seharusnya adalah menjadi pemain ekonomi Islam seutuhnya, sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jangan menjadi pelaku ekonomi yang didikte Barat dalam rangka mengambil keuntungan sebab inilah yang semakin mengikis kesejahteraan masyarakat.

Oleh : Ummu Fahhala- Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi

Share:
Komentar

Berita Terkini