Cengkraman Kepentingan dalam Pemberian Hak Pengelolaan Tambang pada Ormas

Redaktur author photo



Ilustrasi

PEMERINTAH pada 30 Mei 2024 telah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP No. 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Batubara. Dalam PP tersebut, disisipkan satu pasal baru, yakni 83A. Pasal itu menyebut wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada badan usaha yang dimiliki ormas keagamaan.

Adapun WIUPK yang dimaksud merupakan eks Perjanjian Karya Pengusaha Pertambangan Batubara (PKP2B). Selain itu, kepemilikan saham ormas keagamaan dalam badan usaha yang dimaksud harus mayoritas dan menjadi pengendali serta tidak dapat dipindahtangankan dan/atau dialihkan tanpa persetujuan menteri. Badan usaha itu juga dilarang bekerja sama dengan pemegang PKP2B sebelumnya. Adapun penawaran WIUPK berlaku dalam jangka waktu lima tahun sejak PP berlaku. (Kompas.id, 6 Juni 2024).

Berdasarkan tujuannya, kehadiran pasal tambahan itu disebut untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Adapun dalam bagian penjelasan disebutkan, implementasi kewenangan pemerintah itu juga ditujukan sebagai pemberdayaan (empowering) kepada badan usaha yang dimiliki oleh ormas keagamaan. (Kompas.id, 2 Juni 2024). 

'Jalur khusus' pengelolaan tambang oleh ormas ini pun menimbulkan pro kontra di kalangan ormas. Seperti, Pengurus Pusat Muhammadiyah yang menahan diri untuk menanggapi tawaran ini.

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti, mengatakan, Muhammadiyah akan mengukur kemampuan diri terkait pemberian izin usaha tambang tersebut. Pengelolaan tambang jangan sampai malah menimbulkan masalah bagi organisasi, masyarakat, bangsa, dan negara.

[cut]




Kendati demikian, Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah sejak 11 Mei 2024 telah mengeluarkan rekomendasi supaya PP Muhammadiyah mempertimbangkan dengan hati-hati tawaran pengelolaan tambang ini. 

Sementara, Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dalam keterangan persnya bertanggal 8 Juni yang ditandatangani Ephorus HKBP Pendeta Robinson Butarbutar juga menyatakan tidak akan melibatkan diri sebagai gereja untuk bertambang.

HKBP menyatakan, lebih ingin ikut bertanggung jawab menjaga lingkungan hidup yang telah dieksploitasi manusia atas nama pembangunan. Konferensi Waligereja Indonesia pun, misalnya, tegas menyatakan tidak akan menggunakan kesempatan ini karena dinilai bukan termasuk bagian pelayanannya. 

Sekretaris Jenderal Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI) Biksu Bhadra Ruci Sthavira juga menilai ormas Buddhis tidak akan gegabah menerima tawaran Presiden Jokowi untuk mengelola tambang. 

”Saya pribadi menolak (hak mengelola tambang). Kita masih punya resource lain, kenapa harus keruk bumi?” ujar Biksu Bhadra Ruci Sthavira. 

Hanya Nahdlatul Ulama yang menyambut dan segera mengajukan hak pengelolaan tambang. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Yahya Cholil Staquf mengatakan, NU siap dengan sumberdaya mumpuni, perangkat organisasi lengkap, dan jaringan bisnis yang cukup kuat untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab tersebut.

[cut]


Melihat beberapa fakta di atas mengemuka pertanyaan, apa sebenarnya tujuan pemerintah memberikan “Jalur khusus”  bagi ormas untuk mengelola tambang? Kita akan coba urai hal ini.

Politik Akomodatif dan Balas Budi

Agar lebih jelas maka kita harus melihat darimana ide ini muncul? Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, Jumat (7/6/2024), di Jakarta, menyampaikan ini sebagai aspirasi yang diserap Presiden Jokowi saat turun ke daerah. 

Namun, banyak yang menduga ini sebagai politik balas jasa atas dukungan ormas pada Pemilu Presiden 2024 lalu. Tudingan ini pun ditepis Bahlil dengan alasan hak ini bisa diterima oleh semua ormas keagamaan, bukan hanya yang mendukung calon tertentu. (Kompas.id, 11 Juni 2024).

Narasi tersebut kontradiktif dengan fakta di lapangan. Pada Desember 2021 dalam Muktamar Nahdhatul Ulama, Presiden Jokowi berjanji hendak membagikan IUP (Izin usaha pertambangan) kepada generasi muda NU sebagai upaya pemberdayaan masyarakat untuk pemerataan kesejahteraan. 

Kemudian, pada Senin, 31 Januari 2022 Jokowi mengatakan pemerintah akan segera merealisasikan pemberian izin konsensi lahan kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Izin konsensi tersebut, kata Jokowi, akan diberikan untuk digarap secara profesional.

"Sudah saya siapkan (konsesi). Saya pastikan yang gede, enggak mungkin saya memberikan ke NU yang kecil-kecil," ujar Jokowi saat menghadiri pengukuhan pengurus PBNU di Balikpapan, Senin, 31 Januari 2022 dikutip dari tempo.com.

[cut]


Statement presiden ini menunjukan dengan jelas betapa ormas tersebut diistimewakan. Hal ini tentunya bukan tanpa alasan karena kiprah ormas yang bersangkutan selama ini selalu seiring sejalan dengan pemerintah. Kita bisa melihat pernyataan presiden di Harlah ke-96 NU.

"Terima kasih atas kiprah NU selama ini dalam menjaga NKRI, dan dalam menjaga Pancasila. Pandangan hubbul wathan minal iman juga NKRI harga mati telah merangkai persatuan dan kesatuan bangsa. NU telah terus menerus memperjuangkan moderasi beragama, bertoleransi dan kebangsaan," kata Presiden Joko Widodo yang hadir dalam pengukuhan mengenakan sarung, Senin (31/1/2022). 

Dengan mengaitkan satu fakta dengan fakta lainnya dapat disimpulkan bahwa Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP No. 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Batubara sifatnya adalah politik akomodatif dan balas budi. 

Hal ini tentunya mencederai tata kelola pertambangan yang harus dilakukan secara professional. Siapa yang mendukung setiap kiprah pemerintah maka dia akan mendapatkan jatah yang besar. Begitulah sistem demokrasi bekerja, kepentingan di atas segala-galanya.

Kontradiktif dengan Aturan Lain

Sistem politik demokrasi dengan kedaulatan di tangan rakyat yang artinya pembuat hukum adalah manusia, juga bagaimana ruang lingkup demokrasi yang dipenuhi dengan kepentingan membuat produk hukum di dalam sistem ini mudah diamandemen bahkan bertentangan dengan aturan lainnya. 

[cut]


Hal ini pun terjadi pada aturan yang memberikan hak bagi ormas untuk mengelola tambang. Celah aturan ini adalah Pasal 6 Poin 1 Ayat (j) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 yang merupakan perubahan atas UU Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Minerba. Dalam klausul itu disebutkan, pemerintah berwenang melaksanakan penawaran WIUPK  (Wilayah Izin Usaha pertambangan Khusus) secara prioritas. 

Atas dasar inilah PP No. 96/2021 diubah menjadi PP No. 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Batubara yang memberikan hak mengelola tambang pada ormas keagamaan yang memiliki badan usaha. 

Dalam PP tersebut ditambahkan pasal baru yakni Pasal 83A. Pasal ini menyebut, WIUPK dapat ditawarkan secara prioritas kepada badan usaha yang dimiliki ormas keagamaan. 

Namun Pasal 83A ini tidak sejalan dengan UU No. 3 Tahun 2020 yang menegaskan bahwa prioritas pemberian izin usaha pertambangan khusus (IUPK) hanya kepada badan usaha milik nasional (BUMN) dan badan usaha milik daerah (BUMD). 

Kalaupun tidak ada BUMN/BUMD yang berminat, IUPK dapat diberikan kepada badan usaha swasta. Namun, IUPK untuk badan usaha swasta hanya dapat dilakukan dengan cara lelang WIUPK (Kompas.id, 7 Juni 2024). Nyatanya para elit tetap mengesahkan PP ini walaupun tak selaras dengan UU padahal ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 menerangkan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia terdiri atas:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

[cut]


4. Peraturan Pemerintah;

5. Peraturan Presiden;

6. Peraturan Daerah Provinsi; dan

7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa hierarki peraturan perundang-undangan di indonesia yang paling tinggi adalah UUD 1945. Kemudian, penting untuk diketahui bahwa kekuatan hukum peraturan perundang-undangan yang disebutkan berlaku sesuai dengan hierarkinya dan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. (hukumonline.com, 11 April 2024).

Fakta ini menunjukan bahwa demokrasi bersifat pragmatis. Pragmatisme dalam politik demokrasi adalah sesuatu yang melekat dari dalam (built-in). Mengapa? Politik demokrasi ditegakkan atas asas sekulerisme (fashlud-din ‘an al-hayaah; memisahkan agama dari kehidupan masyarakat). Tidak ada lagi halal dan haram. Selama bermanfaat, sebuah aturan akan dipaksakan untuk dilegalkan oleh segelintir para pengendali kekuasaan (politisi) dan keuangan (cukong/pemodal).

Mengkooptasi Ormas Keagamaan

Ormas keagamaaan memiliki tugas dan fungsi yang strategis yakni mengedukasi Masyarakat. Hal ini berarti mencerdaskan Masyarakat dengan paham-paham keagamaan yang shahih sehingga Masyarakat mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Tak jarang ormas keagamaan menjadi oposisi bagi pemerintah. Bukankah oposisi adalah hal yang melekat dalam demokrasi? Nyatanya banyak oposisi yang dibungkam demi keberlanjutan kuasa oligarki di negeri ini. 

Pemberian hak untuk mengelola tambang pada ormas keagamaan pun dipandang akan menghilangkan dimensi kritis karena terkooptasi. Ormas keagamaan akan benar-benar bergantung pada pemerintah dalam keuangan organsasinya. Jika sudah seperti ini maka pemerintah akan mudah men-drive ormas keagamaan agar sejalan dengan kebijakan pemerintah. 

[cut]


Maka tak akan ada lagi orang-orang yang menyuarakan kekritisannya atas setiap kebijakan yang merugikan rakyat. Sebetulnya hal ini pun bertentangan dengan salah satu bentuk kebebasan yang diyakini demokrasi yakni kebebasan berpendapat. Ketika ormas terkooptasi maka oligarki akan berjaya dan rakyatlah yang akan menjadi korban. Lantas bagaimana seharusnya pengelolaan tambang?

Pengelolaan Tambang Sesuai Syariah

Dengan memahami apa yang dibahas di atas maka bisa kita tarik Kesimpulan bahwa sistem demokrasi adalah akar permasalahannya sehingga diperlukan sistem lain untuk mengubah tata kelola tambang juga tata kelola politik yang shahih sehingga tak ada lagi politik akomodatif yang menguntungkan segelintir orang. Satu-satunya jawaban hanyalah sistem Islam karena Islam berasal dari Al Khaliq Al Mudabir, Allah SWT. yang mengetahui hakikat segala sesuatu, juga apa yang terbaik. 

Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhânî, hutan dan bahan galian tambang yang tidak terbatas jumlahnya dan tidak mungkin dihabiskan adalah milik umum dan harus dikelola oleh negara. Hasilnya harus diberikan kembali kepada rakyat dalam bentuk bahan yang murah berbentuk subsidi untuk berbagai kebutuhan primer masyarakat atau warga negara semisal pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum. Inilah pengaturan sistem Islam yang dapat menjadi solusi dari kerusakan pengelolaan tambang dari sistem kapitalisme yang saat ini diterapkan.

Dalam Islam kepemilikan dibagi berdasarkan tiga bentuk: Pertama, kepemilikan individu (private property). Kedua, kepemilikan umum (collective property). Ketiga kepemilikan negara (state property). Dari ketiga bentuk kepemilikan tersebut, bahan galian tambang adalah merupakan hak kepemilikan umum dan haram diserahkan kepemilikannya kepada individu/korporasi/ormas. 

Dengan ketegasan batasan kepemilikan seperti ini tidak ada ruang sedikitpun bagi para oligarki politik untuk merampas hak masyarakat umum atas tambang sumberdaya alam. Juga tertutup celah bagi negara memberikan hak pada ormas untuk mengelola tambang karena UU (qanun) dalam Islam dibuat berdasarkan sumber hukum syariah yakni Al-qur’an dan As-sunnah yang pasti keadilannya.

Pengaturan seperti ini mustahil diterapkan dalam sistem rusak demokrasi yang sudah dikuasai para oligarki politik dan kapitalis. Sehingga kita perlu menerapkan islam secara kaffah dalam kehidupan ini. Allahu’alam. 

Ditulis Oleh: Annisa Aisha -Pemerhati Kebijakan Publik

Share:
Komentar

Berita Terkini