Student Loan, Mengatasi Masalah dengan Masalah

Redaktur author photo
Ilustrasi

MENCERDASKAN kehidupan bangsa merupakan kewajiban konstitusi yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Yang secara rinci dijelaskan dalam pasal 31. 

Pada pasal 31 ayat 1,  setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, pada pasal 31 ayat 2 setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Namun beberapa waktu ini publik dikagetkan dengan pernyataan Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy yang mendukung wacana student loan atau pinjaman online (pinjol) kepada mahasiswa untuk uang kuliah hal tersebut sebagi respon dorongan DPR RI kepada Kemenbudristek RI menggaet BUMN terkait upaya pemberian dana bantuan kuliah.

“Pokoknya semua inisiatif baik untuk membantu kesulitan mahasiswa harus kita dukung gitu termasuk pinjol.” kata Muhadjir pada media.

Menurut Muhadjir pembayaran uang kuliah melalui pinjol merupakan bentuk inovasi teknologi. 

Dalam sistem Kapitalisme – Sekularisme segala sesuatu sah asal ada cuannya, tanpa melihat dampak yang ditimbulkan, halal dan haramnya juga baik dan buruknya. 

[cut]


Hal ini seperti mengatasi masalah dengan masalah, untuk memeroleh hak mendapatkan pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara yang kini dibebankan pada masyarakat, masyarakat diarahkan pada kesulitan yang lainnya yaitu dengan berhutang pinjol. 

Padahal kita tahu pinjol belakangan ini menjadi maslah di negara kita, bukan hanya di bidang ekonomi tapi juga berdampak pada ketahanan keluarga yang diantaranya meningkatnya jumlah perceraian dan KDRT akibat pinjol hingga berdampak pada kesehatan  mental yang berakibat peningkatan jumlah bunuh diri akibat terjerat utang pinjol.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sampai dengan Desember 2023 sebanyak 5% penduduk Indonesia berhutang pinjol dengan akumulasi outstanding Rp 59,64 triliun, jumlah tersebut meningkat 16,67% dibanding tahun lalu yang berdampak 25 orang bunuh diri sepanjang 2023 akibat terjerat utang pinjol. 

Kelompok masyarakat yang terjerat utang pinjol antara lain 42% guru, korban PHK 21%, ibu rumah tangga 17%, karyawan 9%, pedagang 4% dan pelajar 3%. Meningkatnya jumlah pinjol dengan latar belakang pelaku yang bervariasi menjadi bukti gagalnya negara dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya.

Dalam Islam, negara bertanggung jawab atas pemenuhan basic need rakyatnya dari mulai sandang, pangan, papan, kesehatan hingga pendidikan. 

[cut]


Negara menjamin tiap warganya menikmati pendidikan secara layak, dengan guru yang berkualitas, fasilitas yang menggurita sampai kepelosok dengan kualitas yang mumpuni juga bebas dari pembiayaan. 

Dengan kemudahan – kemudahan tersebut setiap warga negara dapat menikmatinya tanpa kecuali. Beda dengan negara dalam system Sekularisme – Kapitalisme, kuliah dianggap sebagai kebutuhan tersier yang setara dengan barang mewah sehingga hanya kalangan tertentu saja yang dapat memeroleh pendidikan yang tinggi, negara dengan sekularisme – kapitalisme hanya memberikan jaminan pada tingkat pendidikan dasar saja. 

Hal ini tidak sejalan dengan cita-cita mulia bangsa yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 tentang mencerdaskan kehidupan bangsa.

Yang lebih mirisnya lagi pemenuhan hak memeroleh pendidikan diarahkan pada yang tidak halal yaitu pinjol yang mengandung riba, yang jelas – jelas Alloh dan Rasul melarangnya. 

Seperti yang tertuang dalam Al – Qur’an surat Al – Baqarah ayat 278 – 280, 'Wahai orang-orang yang beriman, tinggalkanlah apa yang tersisa dari riba, jika kalian adalah orang-orang yang beriman. Maka jika kalian tidak meninggalkan, maka umumkanlah perang kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka jika kalian bertaubat, maka bagi kalian adalah pokok harta kalian'. 

Bagaimana mungkin seorang pejabat justru menyarankan masyarakat untuk berperang dengan Alloh dan Rasulnya?

[cut]


Peryataan Muhadjir sebagai seorang pejabat menggambarkan rusaknya paradigma kepemimpinan yang membawa kerusakan pada masyarkat. 

Padahal dalam Islam pejabat merupakan teladan bagi umat yang taat syariat dan menjadikan pemanfaatan teknologi sesuai tuntunan syariat. Bukan sebaliknya berlepas diridari tanggung jawab dalam menjalankan kewajiban konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengajak masyarkat untuk melanggar syariat.

Sungguh kehidupan sekularisme – kapitalisme ini makin memerumit dan menyulitkan masyarakat. Betapa rindunya kita di atur Islam yang menciptakan ketaraturan dan kemashlahatan sebagaimana negara yang dipimpin pada masa Rasulullah. 

Negara yang menjadikan taqwanullah sebagai landasan dalam bekehidupan sehingga dapat menciptakan individu yang taat, masyarakat yang Islami juga negara yang mampu menjadi ra’in (pengurus) bagi rakyatnya.

Wallohu a’lam bishawab.

Penulis: Ressy Nisia- Pemerhati Pendidikan dan Keluarga.

Share:
Komentar

Berita Terkini