FOMO Boneka Labubu Refleksi Generasi Haus Validasi

Redaktur author photo
Labubu

BEBERAPA waktu ini hampir di semua laman media sosial gencar postingan terkait boneka Labubu. Dari selebgram, selebtok bahkan artis-artis mengunggah proses unboxing dan kepemilikan boneka Labubu tersebut. Akibatnya, Pop Mart dibanjiri antrian mengular sebagai toko penyedia Labubu.

Usut punya usut, Labubu ini menjadi tren setelah Lisa Blackpink mengunggah foto memeluk boneka Labubu awal tahun ini di Insta Story-nya.

“Popularitas boneka Labubu disebabkan oleh unggahan organik Lisa dari Blackpink awal tahun ini. Tren ini kemudian mulai meluas ke wilayah Asia Tenggara, Tiongkok dan pasar internasional lainnya,” ungkap Kevin Zhang, Kepala Kemitraan Strategis Pop Mart International yang dikutip dari laman Tatler Asia.

Kenalan dengan Boneka Labubu

Mengutip laman Lifestyle Asia, Labubu merupakan salah satu karakter dalam seri The Monster yang terinspirasi dari dongeng Nordik. Labubu memiliki penampakan  telinga yang runcing, gigi tajam dan menonjol, perawakan kecil, serta senyum yang licik.

Labubu didesain oleh seniman asal Belgia bernama Kasing Lung. Boneka ini dirilis pertama kali pada tahun 2015 dan bisa dibeli di toko mainan asal Tiongkok, Pop Mart.

[cut]


Labubu dibandrol beragam, dari mulai  Rp 450 ribuan hingga Rp 13 juta. Selain karena dimiliki oleh Lisa Blackpink, harga Labubu menjadi mahal karena limited edition. Sebagaimana kita tahu dalam prinsip ekonomi, semakin banyak permintaan dengan jumlah komoditas barang terbatas maka semakin tinggi harganya. Disamping itu, Labubu memiliki Blind Box dimana setiap pembeli tidak mengetahui isi dari varian boneka tersebut, hal ini tentu membuatnya tampak eksklusif.

Fomo Labubu

Ketertarikan terhadap Labubu bukan hanya terletak pada ke-eksklusifan-nya, tapi juga FOMO masyarakat terhadap Labubu. FOMO (Fear of Missing Out) merupakan perasaan takut ketinggalan tren, update, atau kesempatan untuk terhubung dengan orang lain. FOMO merupakan fenomena sosial yang dapat terjadi dalam berbagai konteks, seperti kehidupan sosial, pekerjaan, pendidikan, dan hobi.

Hanya karena haus validasi, orang-orang rela antri mengular hingga merogoh kocek jutaan rupiah demi boneka Labubu. Padahal jika ditelisik secara kasat mata, tidak ada nilai ekstrinsik dari Labubu. Labubu nampak seperti boneka biasa dengan material yang biasa saja seperti boneka pada umumnya.

Hadonisme yang merupakan anak turunan dari Kapitalisme yang membentuk masyarakat tampil hedon, ingin setara dengan mega bintang sekelas Lisa Blackpink. Masyarakat terjajah oleh tren demi pujian, perasaan ingin diakui dan dianggap mampu yang sebetulnya tidak ada urgensinya bagi kehidupan.

Masyarakat yang haus validasi terjebak arus Kapitalisme, sebuah sistem yang memiliki ciri khas mengambil keuntungan sebesar-besarnya. Strategi marketing kapitalis dilahap oleh kaum FOMO hingga menjadikan Labubu terjual melampaui Cost Goods Of Product-nya. Akibatnya masyarakat gelap mata membeli sesuatu dengan harga fantastis demi terpuaskan egonya.

[cut]


Bagi mereka hidup berdasarkan atas asas manfaat saja. Baik itu manfaat dalam bentuk materil (uang, harta, benda,dll) maupun immateril (pengakuan, famous, gengsi,dll). 

Back to Muslim Identity

FOMO dikategorikan sebagai penyakit sosial, penyakit yang mungkin berpotensi menghilangkan jati diri seseorang. Demi pengakuan sosial seseorang rela membeli sebuah barang yang tidak ada urgensinya bagi kehidupan, bahkan rela menghabiskan hartanya demi kepuasannya.

Fenomena Labubu ini menjadi refleksi gagalnya bimbingan dan pembinaan terhadap generasi. Generasi yang seharusnya mampu membangun sebuah peradaban gemilang, sekarang hanya menjadi pengekor, korban strategi pasar kaum Kapitalis. Sungguh miris cita-cita masyarkat saat ini hanya sebatas mengikuti tren.

Hal ini tentu bergeser jauh dari makna kehidupan seorang muslim, dimana tujuan utamanya mencari mardhatillah (ridha Allah swt). Seorang muslim meyakini bahwa tujuan hidupnya di dunia merupakan ibadah. Sebagaimana firman Alloh swt dalam Q.S Az-Zuriat ayat 56:

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Artinya: Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.

Seorang muslim meyakini hidup ini fana, akhirat merupakan sebaik-baik tempat pulang. Sehigga apapun yang ia lakukan haruslah dalam rangka memetik pahala serta ridha-Nya. Seorang muslim meyakini semua amal perbuatannya akan dikenai hisab terkait baik dan buruknya, sehingga berhati-hati dalam melakukan suatu perbuatan.

[cut]


Ini tentu menjadi PR bersama, bagaimana selanjutkan kita akan mencapai kejayaan jika paradigma masyarakat terkait tujuan hidupnya hanya dibatasi tren. Negara sebagai raa’in atau pengurus rakyat telah gagal mencetak generasi gemilang.

Hal demikian butuh solusi mendasar dan fundamental terkait pembinaan akidah serta akhlak dimulai dari proses pendidikan. Pendidikan tidak seharusnya dipisahkan dari agama, ruang lingkup pendidikan saat ini memisahkan kehidupan dari agama, sehingga tidak ada sinergi antara keimanan dan perilaku. Agama hanya dibatasi ritual, padahal setiap perbuatan kita akan Allah swt hisab, maka meletakan syariat dalam kehidupan adalah suatu kebutuhan.

Selain meletakan agama dalam kurikulum berkehidupan, negara diharapkan teliti dan cermat terkait kebijakan aturan dan penayangan media massa. Sehingga masyarakat tidak salah dalam menentukan kiblatnya. Masyarakat tidak akan dibanjiri tren yang unfaedah.

Penguatan dasar pendidikan akidah akhlak individu, masyarakat yang islami yang menyandarkan amar ma'ruf nahyi munkar terhadap sesamanya dan negara yang berlandaskan pada agama dalam setiap kebijakannya akan membentuk suatu kesatuan yang harmoni dalam menciptakan generasi gemilang, bukan lagi generasi pengekor.

Wallohu a’lam bisshawaab.

Ditulis Oleh : Ressy Nisia -Pemerhati Pendidikan dan Keluarga

Share:
Komentar

Berita Terkini