Ilustrasi |
SUNGGUH miris, masalah bullying, semakin hari bukan berhenti malah terus terjadi. Tidak hanya terjadi di sekolah umum, bahkan kalangan pesantren pun tak luput dari masalah bullying. Sehingga perlu upaya serius dan sistemis untuk mencegah dan menanganinya secara tuntas.
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Bandung menggelar 'Deklarasi Bandung Menuju Zero Bullying' di Pondok Pesantren Nurul Iman, Kota Bandung pada Rabu (23/10/2024) dan didukung sekitar 340 santri.
Tujuan kegiatan ini untuk memberikan pemahaman dan wawasan tambahan kepada tenaga pendidik di pesantren sebagai langkah pencegahan bullying, ungkap Kepala DP3A Kota Bandung Uum Sumiati. (jabarprov.go.id, 25/10/2024)
Faktanya, seluruh pihak sudah lama mencari akar masalah atas maraknya perundungan di lembaga pendidikan. Gerakan anti perundungan pun terus dikampanyekan. Sayang, perundungan tetap saja marak terjadi, bahkan kian brutal hingga menghilangkan nyawa.
Dari sekian banyak kasus perundungan, faktor penyebab dan pemicunya bisa beragam. Mulai dari sakit hati, pengaruh tontonan, pengaruh lingkar pertemanan, saling kompetisi, atau pola asuh keluarga.
[cut]
Sebagian besar sekolah yang awalnya dianggap sebagai tempat teraman bagi anak, kini telah berubah menjadi tempat menakutkan. Lembaga pendidikan dipandang mampu untuk mengedukasi dan melindungi mental anak didik, ternyata perundungan masih menjadi PR besar.
Oleh sebab itu, jika hari ini masalah bullying tetap marak, kajian akar masalah dan solusinya perlu diperdalam. Tidak hanya merujuk pada pengaruh dari lingkungan, tetapi juga merujuk pada perangkat alat dunia pendidikan dalam mencetak kepribadian anak.
Seperangkat alat di dalam dunia pendidikan ini sangat berperan dalam mencegah perilaku negatif, sekaligus bisa menanamkan pemahaman yang mampu membentuk kepribadian anak sebagaimana layaknya orang terdidik. Oleh karena itu, mengevaluasi kebijakan sistem pendidikan merupakan perkara urgen.
Bullying marak terjadi di dunia pendidikan, karena sistem pendidikan saat ini diatur dengan paradigma sistem kapitalisme. Sistem ini menjadikan pendidikan hanya fokus pada pembentukan soft skill dan mengarahkannya sesuai minat supaya mudah memasuki dunia kerja. Upaya menghasilkan output siap kerja, membuat peserta didik kian minus adab dan akhlak.
Sekulerisme atau pemisahan agama dari kehidupan menjadi asas kurikulum pendidikan, sehingga lebih mengedepankan aspek akademik dibandingkan pembentukan kepribadian Islami. Pembentukan karakter melalui Kurikulum Merdeka Belajar saat ini pun “abu-abu”. Bahkan, definisi “karakter” yang dimaksud menjadi multitafsir.
Pendidikan Islam
[cut]
Sistem pendidikan Islam wajib diterapkan negara, agar guru dan kepala sekolah sebagai pendidik dan pelaku utama yang menjalankan kurikulum sahih tersebut. bisa berperan optimal dan kompeten dalam menentukan keberhasilan pendidikan.
Mereka amanah terhadap tugas, memiliki idealisme tepat, keteladanan dalam sikap, dan tentunya kompetensi keilmuan dalam semua bidang yang dibutuhkan dalam proses pendidikan. Tentu saja peran para pendidik mendapat dukungan besar dari negara dengan pemberian kesejahteraan yang sepadan, supaya bisa fokus mendidik.
Ketangguhan sistem pendidikan harus ditopang dengan penerapan sistem sanksi Islam. Untuk memastikan bahwa pelaku bullying dan kekerasan akan mendapatkan sanksi yang menjerakan dan mencegah pelaku maupun yang lainnya dari perbuatan serupa. Media informasi pun dikelola sesuai syariat sehingga para siswa terlindungi dari konten kekerasan yang merusak.
Hanya negara yang menerapkan Islam secara menyeluruh (kafah) termasuk pendidikan dan sanksi Islam, maka persoalan kekerasan di dunia pendidikan atau bullying bisa tuntas sampai ke akarnya.
Oleh : Ummu Fahhala, S.Pd-Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi