Ilustrasi |
EUFORIA lima tahun sekali, rakyat kembali berharap ada perubahan lebih baik terhadap kesejahteraan mereka pada para calon pemimpin yang ikut kontestasi pemilu. Nyatanya tidak semua rakyat memiliki harapan yang sama, karena masih ada saja yang golput dan jumlahnya pun bisa jadi terus meningkat. Apa penyebab dan solusinya?
Angka golput Pilgub Jawa Barat 2024 mencapai 38,21 persen, sedangkan partisipasi pemilih sebesar 61,79 persen yakni 22.198.918 dari total 35.925.960 DPT (Daftar Pemilih Tetap). (kumparan, 29 November 2024). Bahkan di beberapa kota/kabupaten di Jawa Barat jumlah golput mengalahkan perolehan suara pemenang Pilkada seperti di Kota Bekasi pasangan calon peraih suara terbanyak hanya mendapatkan 400 ribu lebih suara sedangkan angka golput di atas 800 ribu dari jumlah DPT (daftar pemilih tetap) 1.8 juta.
Bawaslu Kota Bekasi menyebut bahwa kelompok yang rentan golput adalah kelompok marginal, diantaranya komunitas pemulung, komunitas penghayat kepercayaan, ojol, seniman jalanan dan pekerja informal. Sehingga harus diberi pemahaman pentingnya partisipasi memilih dalam pilkada. (www.inijabar.com, 26/10/2024)
Berbagai alasan diungkapkan oleh mereka yang memilih golput, ada yang karena lebih memilih tetap mencari penghasilan karena bergelut di sektor informal. Ada juga karena merasa apatis secara politik dan bersikap pasif dalam politik sehingga mengidentifikasi diri mereka sebagai golput di lingkungan politik yang lebih liberal. (BBC Indonesia, 24/10/2023).
Politik Kekuasaan
Sikap apatis atau skeptis rakyat pada politik kekuasaan merupakan konsekuensi dari penerapan kapitalisme sekuler. Alhasil, kekuasaan dan jabatan adalah tujuan berpolitik dalam mendapatkan keuntungan pribadi dan golongan mereka.
Segala macam cara dihalalkan untuk meraih kekuasaan, diantaranya melalui praktik suap-menyuap dan politik uang (money politic). Idealisme pun bisa dikalahkan demi mendapatkan kemenangan kontestasi.
Dalam sistem politik kapitalisme sekuler, yang diuntungkan adalah para oligarki. Pasalnya, politik dalam sistem ini berbiaya mahal. Para pemilik modal dan partai politik menjadi support utama para calon pemimpin untuk bisa maju dalam kontestasi pemilihan. Sehingga mereka yang terpilih melakukan politik balas budi pada para oligarki dengan membagi-bagi 'Kue kekuasaan', rakyat pun gigit jari.
Sistem politik ini tentu merugikan rakyat, dengan besarnya biaya yang dibutuhkan dalam proses kontestasi pemilihan yang sampai puluhan triliun bersumber dari uang rakyat.
Namun rakyat yang justru mendapatkan banyak persoalan dari proses tersebut, seperti kesejahteraan yang tak kunjung datang karena hanya janji kosong semata dan munculnya konflik horizontal.
Politik Islam
Islam memiliki aturan sempurna, termasuk aturan pengurusan rakyat, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Dalam Islam, politik (siyasiyah) memiliki makna mengurus urusan rakyat.
Makna demikian didasarkan pada hadis Rasulullah Saw. bahwa 'Dulu Bani Israil dipimpin oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, akan digantikan oleh nabi yang lain. Tetapi, tidak ada nabi lagi sesudahku. Akan ada khalifah-khalifah dan jumlahnya banyak'. (Muttafaq 'alaihi] - [Sahih Bukhari – 3455].
Jika politik Islam dijalankan, maka kekuasaan yang ada digunakan untuk mengurus rakyat, bukan untuk mengurus kepentingan pribadi maupun golongan tertentu.
Islam juga menjadikan kekuasaan digunakan untuk menerapkan syariat Islam secara menyeluruh (kafah). Sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah saw dalam menerapkan syariat Islam secara kafah dan menjadi kepala negara di Madinah.
Rasulullah Saw. bersabda 'Siapa yang diamanahi Allah Swt. untuk memimpin rakyat, lalu ia tidak memimpinnya dengan tuntunan yang baik, maka ia tidak akan dapat merasakan bau surga'. hadis riwayat Bukhari dan Muslim.
Amanah kepemimpinan akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah Swt. Dengan kepemimpinan yang tepat dan penerapan hukum syariat, maka rakyat akan terurus dengan baik dan hidup sejahtera.
Ditulis Oleh : Ummu Fahhala, S.Pd.-Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi