Penulis; Lilis Suryani |
KEPEMIMPINAN saat ini menjadi hal yang penting dan genting untuk dipahami semua kalangan. Sejak negeri ini merdeka puluhan tahun yang lalu, pemimpin silih berganti berkuasa di negeri tercinta ini. Namun kondisi rakyat belum banyak berubah, kemiskinan masih menjadi PR besar negeri ini pun demikian dengan kesejahteraan masih menjadi hal yang sulit untuk didapatkan semua rakyat.
Sebagai pemimpin, rezim yang berkuasa justru kerap kali mengeluarkan kebijakan yang menyulitkan rakyat. Misalnya, kenaikan pajak 12 persen yang direncanakan berlaku awal tahun 2025, hal tersebut didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994.
Sebelumnya, kebijakan yang kontroversial juga kerap kali dibuat oleh pemimpin. Salah satunya adalah Omnibus Law atau Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang menimbulkan kontroversi karena dinilai tidak berpihak kepada pekerja dan lingkungan.
Namun, sikap pemimpin yang demikian disinyalir wajar dalam sistem sekuler kapitalisme yang menerapkan demokrasi. Pemimpin yang melahirkan karakter populis otoriter menjadi konsekuensi logis saat diterapkan sistem kehidupan buatan manusia ini.
Realitas kepemimpinan seperti itu, telah digambarkan oleh Nabi Muhammad saw. dalam sebuah hadis riwayat Al-Hakim, “Akan tiba pada manusia tahun-tahun penuh kebohongan. Saat itu, orang bohong dianggap jujur. Orang jujur dianggap bohong. Pengkhianat dianggap amanah. Orang amanah dianggap pengkhianat. Ketika itu, orang ruwaibidhah berbicara. Ada yang bertanya, ‘Siapa ruwaibidhah itu?’ Nabi menjawab, ‘Orang bodoh yang mengurusi urusan orang umum.” (HR. Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘ala as-Shahihain, V/465).
[cut]
Dan model kepemimpinan demikian, mulai bermunculan sejak ruhtuhnya kepemimpinan Islam pada tahun 1924 silam di Istanbul, Turki.
Sehingga, hukum Allah tidak lagi ditegakkan, diabaikan dalam segala hal kecuali masalah individu, umat Islam tercerai berai di 57 negara, potensi ekonomi tidak bisa diberdayakan, tentara dan militernya tidak mampu menjadi pelindung kaum muslimin.
Padahal, kepimpinan dan kekuasaan adalah hal yang berat pertanggungjawabannya kelak di sisi Allah SWT, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallâhu alaihi wasallam pernah berkata kepada Abu Dzar,
"Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah. Sementara ia (kekuasaan) adalah amanah. Dan pada hari kiamat nanti ia bisa mendatangkan kehinaan dan penyesalan. Kecuali orang yang mendapatkannya dengan cara yang benar dan menunaikan apa yang menjadi kewajibannya dalam memangku jabatan itu."
Pertanyaannya, apa maksud perkataan Rasulullah—Shallallâhu alaihi wasallam—kepada Abu Dzar, "Sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah"?
Sementara dalam pandangan Islam pemimpin adalah pihak yang bertanggung jawab penuh terhadap semua hajat hidup rakyatnya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallâhu ’anhu. bahwa Nabi Muhammad –sallallahu alaihi wasallam– bersabda,
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
”Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR Muttafaqun ’Alayh dll.)
[cut]
Tauladan kepemimpinan dapat kita temukan pada sosok Umar bin Khatthab saat menjadi seorang pemimpin. Kisah ini mahsyur diakangan umat Islam hingga saat ini, ketika patroli malam beliau mendapati suara tangisan anak yang ibunya sedang merebus batu.
Kemudian Khalifah Umar membawa sendiri makanan dan memberikannya. Selain itu, Umar bin Khattab sebagai peimpin memberikan kebijakan agar rakyat hanya memakan makanan yang baik saja sesuai dengan yang disyariatkan dalam Islam.
'Telah sampai kepadaku bahwa kalian tinggal di daerah yang tercampur makanannya dengan bangkai dan demikian juga pakaiannya, maka janganlah kalian memakan kecuali hewan sembelihan (yang halal) dan janganlah kalian memakai pakaian kecuali dari (kulit) hewan yang disembelih (secara Syar'i)'
(Riwayat Shahih, diriwayatkan oleh Ibnu Sa'din di Ath-Thabaqat).
Begitulah karekterisktik pemimpin yang hanya bisa lahir dari sistem Islam. Karena pemimpin yang baik hanya akan lahir dari sistem yang baik pula.
Pemimpin yang mengayomi rakyat, mengurus dan mencintai rakyat. Pemimpin yang tidak hanya bervisi dunia melainkan kan juga akhirat.
Ditulis Oleh : Lilis Suryani-Guru dan Pegiat Literasi