inijabar.com,Garut- Kebijakan reaktivasi jalur rel kereta api Garut-Cikajang memicu beragam tanggapan dari masyarakat, terutama yang berada di sepanjang bantaran rel dan masyarakat Garut secara umum.
Sementara itu, pemerhati kebijakan publik Dudi Supriyadi mengatakan, dampak dan realisasi dari rencana besar ini. Rencana reaktivasi jalur kereta api Garut-Cikajang sejatinya bukanlah sebuah ide baru.
Dudi menyatakan, program ini sudah direncanakan jauh sebelumnya dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Garut, yang tercantum dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 29 Tahun 2011, dengan proyeksi hingga 2031.
"Bahkan, dalam Perda Perubahan Nomor 6 Tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Kabupaten Garut, sistem jaringan perkeretaapian, termasuk jalur Garut-Cikajang, sudah direncanakan dengan jelas,"ujarnya.
Buktinya, kata dia, reaktivasi rel kereta api jalur Cibatu-Garut telah lebih dulu dibangun dan selesai.
"Jadi, sebenarnya rencana reaktivasi Garut-Cikajang ini sudah ada dalam perencanaan tata ruang, bukan sekadar ide spontan dari gubernur baru," ujar Dudi Supriyadi.
Dudi juga mengatakan, langkah maju yang dilakukan oleh Gubernur Dedi Mulyadi dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk mewujudkan reaktivasi jalur Garut-Cikajang dapat dianggap sebagai momentum yang perlu disyukuri.
Pembangunan ini, kata dia, berpotensi memberikan dampak positif bagi pembangunan infrastruktur transportasi di wilayah tersebut, membuka akses yang lebih luas bagi masyarakat Garut, serta meningkatkan konektivitas antarwilayah di Jawa Barat.
Namun, Dudi menekankan, untuk memastikan kesuksesan rencana reaktivasi ini, sejumlah langkah penting harus dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Garut.
Pertama, validasi data yang akurat mengenai jumlah masyarakat yang tinggal di bantaran rel jalur Garut-Cikajang yang akan terdampak perlu segera dilakukan.
"Dengan data yang tepat, maka penanganan dampak sosial dan ekonomi terhadap masyarakat dapat dirancang dengan lebih bijak,"ucapnya.
Selanjutnya, Dudi juga mengingatkan pentingnya adanya kajian mendalam seperti Detail Engineering Design (DED) dan studi kelayakan (Feasibility Study/FS) untuk memastikan kelayakan teknis dan ekonomis proyek tersebut.
Tanpa adanya kedua studi ini, potensi kesalahan dalam perencanaan dan pelaksanaan akan sangat tinggi.
"Selain itu, sosialisasi yang melibatkan seluruh pihak terkait, mulai dari pemerintah provinsi, pemerintah daerah, instansi terkait, hingga masyarakat setempat, harus dilakukan secara transparan dan menyeluruh agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan,"tandasnya.(*)